MENJAGA SEKOLAH AGAR TETAP UNGGUL
(Belajar dari Musibah Kebakaran di Labschool dan Film Laskar Pelangi)
A. Pendahuluan
Tulisan ini diilhami dari hasil perenungan yang mendalam. Juga mengambil hikmah dari terjadinya musibah kebakaran di Labschool Jakarta, Rabu 30 Juli 2008. Si jago merah itu telah melumat habis beberapa fasilitas Labschool yang bernilai sekitar 12 milyar lebih. Hanya dalam hitungan menit fasilitas yang megah itu hilang ditelan bumi. Padahal, baru sehari sebelumnya kami bangga karena akan terpilih menjadi sekolah sehat di DKI Jakarta. Melalui Lomba Sekolah Sehat (LSS) kami berharap mendapatkan juara pertama dan mengungguli sekolah favorit lainnya. Dengan keragaman fasilitas lengkap yang dimiliki, kami yakin akan menjadi sang juara.
Tulisan ini juga diilhami oleh film Laskar Pelangi yang begitu menyulut hati dan perasaan penulis bahwa sekolah dengan fasilitas apa adanya mampu bersaing dan melahirkan peserta didik yang sangat luar biasa. Suatu kisah nyata dari sebuah sekolah yang mampu memberikan pemahaman kepada siswa tentang keanekaragaman budaya Indonesia, dan juga dunia International. Menjaga sekolah agar tetap unggul di masyarakat walaupun ketiadaan fasilitas dan keterbatasan dana. Bahkan, saking larut dan terpesonanya dengan film ini penulis sampai 3 kali menonton film Laskar Pelangi di bioskop yang berbeda dengan sebuah perenungan mengambil hikmah dari pemutaran film itu dan menghubungkannya dengan musibah kebakaran di Labschool Jakarta.
Musibah kebakaran di sekolah membuat kami menjadi lebih bijaksana dan lebih bersemangat dalam mengajar walaupun dengan fasilitas apa adanya. Kalau dulu menggunakan media pembelajaran dengan teknologi canggih, sekarang kita menggunakan media pembelajaran dengan teknologi yang sangat sederhana.
B. Permasalahan
Harapan terkadang berbeda dengan kenyataan. Kebakaran di Labschool telah membuat suasana sekolah berubah. Berubah menjadi kecemasan, apakah setelah beberapa fasilitas terbakar kami mampu menjaga sekolah Labschool agar tetap unggul? Apakah fasilitas yang lengkap merupakan segalanya untuk mencapai keunggulan di masyarakat?. Lalu bagaimanakah kita dapat berpikir global dan bertindak lokal dengan fasilitas sekolah apa adanya?. Benarkah keunggulan fasilitas yang lengkap merupakan syarat mutlak agar sekolah kita tetap unggul? Apa sajakah yang harus dperhatikan untuk menjaga sekolah agar tetap unggul? Bisakah kita belajar dari Labschool dan Laskar Pelangi?
C. Cerita tentang Labchool dan Laskar Pelangi.
Penulis mencoba menerawang ke masa lampau. Masa di mana pada saat itu sekolah Labschool lahir di tahun 1968, persis 40 tahun yang lalu. Tentu para pendiri sekolah ini berpengharapan agar kelak sekolah yang mereka dirikan menjadi sebuah sekolah yang bermutu dan diperhitungkan keberadaannya pada masa yang akan datang. Sekolah Labschool yang berlokasi di Jalan Pemuda Komplek Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rawamangun Jakarta Timur ini memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang. Nama Labschool yang melekat pada TK, SD, SMP, dan SMA yang bernaung di bawah Yayasan Pembina Universitas Negeri Jakarta (dulu IKIP Jakarta) mengandung makna sejarah yang unik sehingga menjadi favorit dan unggul di masyarakat. (Sejarah Labschool dapat dilihat di internet dengan url http://id.wikipedia.org/wiki/labschool).
Kini memasuki usianya yang ke-40, Labschool diharapkan tetap menjadi sekolah unggul. Unggul dalam berbagai bidang. Bidang akademis maupun non akademis yang tercerminkan dari berjalannya berbagai program intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Mampu bersaing di dunia global yang terus berkembang dan tak kenal berhenti. Mempertahankan budaya lokal dan mengembangkannya menjadi sebuah kultur yang unik (school culture) sehingga menarik orang luar untuk belajar dan melakukan studi banding.
Melalui motto matang dalam berpikir dan bijak dalam bertindak diharapkan sekolah Labschool seperti seorang manusia yang semakin dewasa. Tidak menua, melupa, dan melemah kemudian dilupakan orang. Tetapi justru harus semakin hebat, kuat, dan menarik. Sehingga keberadaannya memiliki keunggulan yang tetap terjaga. Semua itu terjadi bila berbagai komponen yang berada di dalamnya menyatu dalam sebuah kebersamaan. Saling asah, saling asih, dan saling asuh. Mampu memadukan tata rasa, tata pikir dan tata tindakan menjadi sebuah tata krama yang mencerminkan keteladanan. Adanya keteladanan dari semua komunitas atau stake holder yang ada di dalam sekolah merupakan salah satu syarat dari sekolah unggul. Karena itu tidaklah berlebihan apabila sekolah Labschool mempunyai motto Iman, Ilmu, dan Amal.
Di tengah-tengah sibuknya kami mempersiapkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), datanglah musibah kebakaran yang melumat habis beberapa fasilitas. Mulai dari fasilitas ruang internet, ruang perpustakaan digital, 6 buah ruang kelas lengkap dengan komputer multimedia, dan lab IPA yang lengkap dengan fasilitas audio dan videonya, dan juga ruangan guru yang berisi dokumen-dokumen penting pembelajaran yang sudah siap dilaporkan kepada pengawas untuk akreditasi sekolah. Belum lagi ruangan teater kecil tempat kami berekspresi di bidang seni dan kegiatan lainnya juga ikut hangus terbakar api. Semua ruangan itu kini hilang di telan bumi. Tak berbekas dilumat habis oleh ganasnya si jago merah. Kejadian itu begitu cepat sekali terjadinya, sehingga kami tak sanggup mengantisipasinya. Tetapi untunglah Tuhan Maha Kuasa, kebakaran itu terjadi di saat libur sekolah (maulid nabi) sehingga tidak menelan korban jiwa.
Dalam film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel Best Seller Laskar Pelangi dikisahkan tentang sekolah SD Muhammadiyah Gantong di Pulau Belitong tempat sang penulis novel Andrea Hirata bersekolah pada waktu itu. Dengan seorang kepala sekolah yang sudah tua dan berwajah sabar, yang bernama Pak Harfan. Sekolah itu juga memiliki guru yang bernama Pak Bakri yang jarang tersenyum, dan guru muda cantik bernama Ibu Muslimah. Sekolah yang mau roboh dan hampir saja ditutup karena kurangnya murid. Namun, siapa yang akan mengira kalau sekolah miskin itu telah berhasil mendidik anak didiknya menjadi anak didik yang berbeda dengan sekolah lainnya, dimana sekolah itu lebih mengedepankan akhlaqul karimah daripada nilai-nilai pelajaran yang harus dikuasai siswa. Sekolah itu telah mampu mengajarkan bagaimana berpikir global dan bertindak lokal (Think Global Act Local) dengan cara-cara tradisional yang memikat hati dan merambat pelan ke dunia internasional dalam memberikan pengajaran yang berkualitas. Hal ini dapat dibuktikan dari alumni sekolah itu yang berhasil sekolah dan mendapatkan gelar di luar negeri. Di mana pun kita berada, baik di kutub utara maupun di kutub selatan, atau belahan dunia barat dan timur akhlaqul karimah harus tetap ditegakkan karena mengajarkan cinta kepada sesama. Kekuatan cinta adalah salah satu kunci keberhasilan dalam dunia pendidikan kita. ”Tidak pernah ada yang bisa mengalahkan kekuatan cinta yang murni dan tulus. Cinta yang mendalam menebarkan energi positif yang tidak hanya mengubah hidup seseorang, tetapi juga menerangi hidup orang banyak.” (Kompas dalam cover novel Andrea Hirata ”Laskar Pelangi”).
Lihatlah para tokoh di film ini (Pak Harfan, Ibu Muslimah, Lintang si genius, Mahar sang seniman, Ikal sang penulis, dan lain-lain yang bisa dibaca di url http://wijayalabs.blogspot.com ). Kesederhanaan, kemiskinan, dan ketiadaan fasilitas justru mampu memompa semangat mereka untuk memenangkan karnaval HUT RI dan Lomba Cerdas Cermat. Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota Laskar Pelangi. Sebelas orang anak melayu Belitong yang luar biasa ini tak menyerah walau keadaan tak bersimpati pada mereka. Tengoklah Lintang, seorang kuli kopra cilik yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu. Atau Mahar, seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, dan kreatif yang mampu mengangkat citra sekolahnya dalam karnaval 17 Agustus dengan tarian budaya nasional tanpa dana.
Inilah film yang sangat mengharukan tentang dunia pendidikan dengan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur, tulus, gigih, penuh dedikasi, ulet, sabar, tawakal, takwa dan mengajar dengan hati yang diperlihatkan kepada penonton film ini secara indah dan cerdas lewat arahan sutradara Riri Riza yang begitu piawai mengemas film ini. Sebuah film untuk semua umur yang sangat menggugah. Siapa pun yang menontonnya akan termotivasi dan merasa berdosa jika tidak mensyukuri hidup. Inilah realita pendidikan Indonesia di tengah berbagai berita dan hiburan televisi tentang sekolah yang tak cukup memberi inspirasi dan spirit. Karena itu, harus ada keinginan dan kerja keras dari para guru sebagai agen pembelajaran untuk menjaga sekolahnya agar tetap unggul dan favorit di masyarakat meskipun tak memiliki dana dan fasilitas cukup. Memandang sebuah kemiskinan dengan cara lain bukan menangisinya. Kita harus belajar dari dua orang guru dalam Laskar Pelangi (Pak Harfan dan Ibu Muslimah) yang memiliki dedikasi tinggi luar biasa dalam dunia pendidikan dan mampu mengembangkan potensi unggul yang ada dalam diri setiap anak menjadi prestasi cemerlang pada masa depan. Mereka mampu memberikan keteladanan dan memberikan kesempatan kepada anak didiknya untuk unggul sesuai bakat dan minatnya. Inilah guru yang mengerti akan makna pendidikan yang sesungguhnya.
D. Menjaga Sekolah Agar Tetap Unggul
Dari uraian cerita tentang Labschool dan Laskar Pelangi di atas, ada suatu hikmah atau pelajaran yang dapat ditarik benang merahnya untuk kita pelajari. Pelajaran itu adalah bagaimanakah menjaga sekolah kita agar tetap unggul dan favorit di masyarakat? Berikut ini beberapa kekuatan yang patut kita perhatikan dalam menjaga sekolah agar tetap unggul dan mampu bersaing di dunia global tanpa kehilangan budaya lokal. Beberapa kekuatan itu adalah sebagai berikut :
1. Memiliki guru (tenaga pendidik) yang mempunyai kompetensi, dedikasi dan komitmen yang tinggi terhadap kemajuan dunia pendidikan.
Peran guru sangat menentukan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Untuk itu, guru sebagai agen pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan menilai hasil proses pembelajaran.
Guru mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan di bidang pendidikan, dan oleh karena itu perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Pasal 4 UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen menegaskan bahwa, guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, guru wajib untuk memiliki syarat tertentu, salah satu diantaranya adalah kompetensi.
Kompetensi diartikan oleh Cowell (Depdikbud, 1988) sebagai suatu keterampilan/kemahiran yang bersifat aktif. Kompetensi merupakan satu kesatuan utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dinilai; yang terkait dengan profesi guru. Kompetensi inilah yang menjadi syarat dalam kelulusan sertifikasi guru yang terangkum dalam Portofolio.
Portofolio adalah bukti dokumen yang menggambarkan pengalaman berkarya yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran (kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial). Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan memiliki komponen portofolio yang meliputi: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Namun demikian, memiliki kompetensi saja tidak cukup bagi seorang guru. Harus ada komitmen dan dedikasi yang tinggi dalam menjaga sekolah agar tetap unggul. Komitmen dan dedikasi itu terlihat dari perilaku guru yang senantiasa meningkatkan kemampuannya untuk terus belajar sepanjang hayat. Konsisten dan tak pernah berhenti untuk belajar dalam rangka mengembangkan potensinya menjadi guru ideal dan profesional.
Guru ideal adalah dambaan peserta didik. Guru ideal adalah sosok guru yang mampu untuk menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminum-nya. Dia laksana obat penawar yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Guru ideal adalah guru yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan benar apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami. Ilmunya mengalir deras dan terus bersemi di hati para anak didiknya. Sehingga menimbulkan minat siswa untuk terus belajar dan menggali ”IPTEK”.
Guru ideal dan profesional yang diperlukan Indonesia saat ini adalah: pertama, guru yang memahami benar akan profesinya. Profesi guru adalah profesi yang mulia. Dia adalah sosok yang selalu memberi dengan tulus dan tak mengharapkan imbalan apapun, kecuali ridho dari Tuhan pemilik bumi. Falsafah hidupnya adalah tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Hanya memberi tak harap kembali. Hidupnya hanya untuk memberi sebanyak-banyaknya bukan menerima sebanyak-banyaknya. Dia selalu memiliki semangat baru yang tak ternilai untuk mengajar siswa meskipun dia dirundung kesusahan. Dia mendidik dengan hatinya. Dia tidak sekedar memberikan instruksi atau komando melainkan mampu mengembangkan potensi unggul yang dimiliki siswa. Kehadirannya dirindukan oleh peserta didiknya. Wajahnya selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Salam, Sapa, Senyum, Syukur, dan Sabar).
Kedua, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki sifat kemulian yaitu, Sidiq, Tabliq, Amanah, dan Fathonah (STAF). Guru yang memiliki sifat STAF adalah guru yang mampu memberikan keteladanan dalam hidupnya karena memiliki akhlak yang mulia. Selalu berkata benar, jujur, mengajarkan kebaikan, dapat dipercaya, dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Memiliki iman yang kuat, menguasai ilmunya, dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Sifat STAF harus dimiliki oleh seorang guru dalam mengajar anak didiknya.
Ketiga, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki 5 kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki terpancar jelas dari karakter dan prilakunya sehari-hari. Baik ketika mengajar, ataupun dalam hidup ditengah-tengah masyarakat. Kelima kecerdasan itu adalah: kecerdasan intelektual, moral, sosial, emosional, dan motorik. Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan moral, Mengapa? Bila kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan moral akan menghasilkan peserta didik yang hanya mementingkan keberhasilan ketimbang proses, segala cara dianggap halal, yang penting target tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita saat ini sehingga kasus korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu kecerdasan moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan mampu berlaku jujur dalam situasi apapun. Kejujuran adalah kunci keberhasilan dan kesuksesan.
Selain kecerdasan intelektual dan moral, kecerdasan sosial juga harus dimiliki oleh guru ideal agar tidak egois, dan selalu memperdulikan orang lain yang membutuhkan pertolongannya. Dia pun harus mampu bekerjasama dengan karakter orang lain yang berbeda. Kecerdasan emosional harus ditumbuhkan agar guru tidak mudah marah, tersinggung, dan melecehkan orang lain. Sedangkan kecerdasan motorik diperlukan agar guru mampu melakukan mobilitas tinggi sehingga mampu bersaing dalam memperoleh hasil yang maksimal. Kecerdasan motorik harus senantiasa dilatih agar guru dapat menjadi kreatif dan berprestasi.
Karena itu sudah sewajarnya bila kita sebagai guru berlomba-lomba untuk menjadi sosok guru yang ideal. Ideal di mata peserta didik, ideal di mata masyarakat, dan ideal di mata Tuhan yang Maha Pemberi. Bila semakin banyak guru ideal yang tersebar di sekolah-sekolah kita, maka sudah dapat dipastikan akan banyak pula sekolah-sekolah berkualitas yang mampu membentuk karakter siswa memiliki akhlak mulia (akhlaqul karimah).
Menjadi guru ideal dan profesional adalah harapan dari semua pendidik. Tak dapat dipungkiri, sebagai garda terdepan dalam membangun sekolah unggul guru mempunyai peran yang sangat tinggi. Dari guru yang memiliki kompetensi, dedikasi dan komitmenlah sekolah unggul dapat terjaga. Baik mutu maupun kualitasnya. Guru ideal itu telah diperankan dengan baik oleh Pak Harfan dan Ibu Muslimah dalam film Laskar Pelangi yang membumi itu.
Mereka mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Fasilitas yang kurang memadai dan ketiadaan media pembelajaran sebagai alat bantu pembelajaran bukanlah penghalang mereka untuk mewujudkan mutu pendidikan yang berkualitas. Pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Mereka kreatif membuat media pembelajarannya sendiri dengan dana yang terbatas. Mampu menyusun bahan ajar berbasis kompetensi meski dengan peralatan teknologi yang sangat sederhana. Mereka mampu menterjemahkan empat pilar pendidikan dari UNESCO, yaitu Learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama), dan learning to be (belajar untuk menjadi sesuatu/seseorang). Empat pilar pendidikan tersebut di pandang sebagai pendekatan belajar yang harus diterapkan untuk menyiapkan anak didik agar mampu bersaing dalam pertarungan dunia global saat ini yang memasuki abad ke-21 dengan komunikasi bebas tanpa batas. Oleh karena itu guru harus mampu menguasai teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang begitu cepat dan pesat perkembangannya di abad ini.
2. Memiliki siswa yang mempunyai prestasi yang membanggakan sekolah.
Siswa berprestasi dilahirkan dari penanganan guru yang profesional. Siswa berprestasi lahir dari proses belajar mengajar yang kreatif dan efektif. Sekolah unggul harus semakin banyak mencetak siswa berprestasi dari berbagai bidang keilmuan yang sesuai dengan visi dan misi sekolah yang telah ditetapkan bersama. Mampu menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan visi dan misi sekolahnya kearah proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Adapun contoh visi dan misi sekolah dapat dibaca dan dilihat di url: http://www.labschool-unj.sch.id/info.php?info=visi.
Sekolah harus terus menciptakan siswa berprestasi yang dapat membawa nama baik sekolah ditingkat nasional maupun internasional. Karena itu adanya sebuah pembinaan jelas menjadi sebuah keharusan. Sekolah unggul harus dapat mengembangkan otak kiri dan kanan siswa yang tercerminkan dari berjalannya kegiatan ekstrakurikuler dan intrakurikuler. Mampu menerapkan empat pilar pendidikan dalam proses pembelajarannya sehingga memungkinkan siswa atau peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya sendiri untuk mencapai prestasi gemilang. Proses itu harus terjadi dalam proses pembelajaran yang ada di sekolah.
Sekolah juga harus unggul dalam berbagai event olympiade. Baik bidang keolahragaan, kesenian, sains, IPA, IPS, matematika, TIK ataupun yang lainnya. Hal ini akan dapat dibuktikan dengan adanya berbagai prestasi siswa dan berbagai piala kejuaraan yang diraih oleh siswa dan dipajang di sekolah.
Semakin banyak piala dari kejuaraan yang diperoleh, akan semakin mengibarkan nama sekolah itu ke seluruh penjuru dunia. Sehingga sekolah itu benar-benar sekolah yang unggul dan sangat memperhatikan siswa yang berprestasi di berbagai bidang untuk terus mengembangkan dan mempertahankan-nya dengan memberikan penghargaan berupa beasiswa atau penghargaan lainnya.
Siswa berprestasi akan terlihat apabila mereka diberikan kesempatan untuk berkompetisi dengan sekolah lainnya melalui berbagai event kejuaran, baik nasional maupun internasional. Karena itu, sudah sewajarnya apabila setiap sekolah mempersiapkan anak didiknya untuk mampu bersaing dan berkompetisi sesuai dengan minat dan bakat siswa di sekolahnya masing-masing.
Dalam film Laskar Pelangi digambarkan secara sederhana bagaimana sekolah itu mampu untuk mengembangkan kreativitas siswa dan mencapai prestasi yang gemilang. Si Mahar sang seniman alam itu mampu membuat sebuah kreativitas seni yang indah, dimana dia mampu untuk membuat sebuah kreasi seni budaya bangsa yang berupa tarian suku Asmat begitu hidup dan menarik perhatian bagi yang menontonnya. Lewat ide gila si Mahar, sekolah yang apa adanya dan tak memiliki dana mampu bersaing dengan sekolah-sekolah unggulan papan atas yang memiliki banyak dana. Bandingkan dengan SD PN Timah dengan fasilitas Marching Band yang mewah itu dan seragam barunya yang mahal. Mereka mampu dikalahkan oleh sebuah kesederhanaan alat musik tradisional dan pakaian adat yang dibuat dari daun yang didapat dari alam dan kalung antik dari buah yang mudah didapatkan walaupun gatalnya masih terasa dalam seminggu.
Bapak presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) berpesan, agar sekolah-sekolah unggul lebih memperhatikan para siswa berprestasi yang telah berhasil dalam berbagai ajang kejuaraan. Bahkan tersedia beasiswa bagi siswa yang berprestasi sampai dengan jenjang S3. Pesan presiden SBY ini dapat dibaca di http://www.detiknews.com/read/2008/08/05/212856/983509/10/sby-siswa-berprestasi-harus-bisa!.
3. Mengembangkan sumber belajar yang tidak hanya berpusat pada guru.
Film Laskar Pelangi mengajarkan pada kita bahwa sumber belajar bukan lagi berpusat pada guru, melainkan dari berbagai sumber. Peran yang seharusnya dilakukan guru adalah mengusahakan agar setiap siswa dapat berinteraksi secara aktif dengan berbagai sumber belajar yang ada. Guru merupakan salah satu (bukan satu-satunya) sumber belajar bagi siswa. Selain guru, masih banyak lagi sumber belajar yang lain. Lalu, apa sebenarnya sumber belajar itu?
Pada hakekatnya, alam semesta ini merupakan sumber belajar bagi manusia sepanjang massa. Jika Anda sependapat dengan asumsi ini, maka pengertian sumber belajar merupakan konsep yang sangat luas meliputi segala yang ada di jagad raya ini. Menurut Asosiasi Teknologi Komunikasi Pendidikan (AECT), sumber belajar adalah semua sumber (baik berupa data, orang atau benda) yang dapat digunakan untuk memberi fasilitas (kemudahan) belajar bagi siswa. Sumber belajar itu meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan lingkungan/latar. Sumber belajar memiliki fungsi :
1. Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan: (a) mempercepat laju belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan (b) mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah.
2. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, dengan cara: (a) mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional; dan (b) memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannnya.
3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara: (a) perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis; dan (b) pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian.
4. Lebih memantapkan pembelajaran, dengan jalan: (a) meningkatkan kemampuan sumber belajar; (b) penyajian informasi dan bahan secara lebih kongkrit.
5. Memungkinkan belajar secara seketika, yaitu: (a) mengurangi kesenjangan antara pembelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya kongkrit; (b) memberikan pengetahuan yang sifatnya langsung.
6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis.
Fungsi-fungsi di atas sekaligus menggambarkan tentang alasan dan arti penting sumber belajar untuk kepentingan proses dan pencapaian hasil pembelajaran siswa.
Bila ditinjau dari asal usulnya, sumber belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: sumber belajar yang dirancang (learning resources by design) yaitu sumber belajar yang memang sengaja dibuat untuk tujuan pembelajaran. Contohnya adalah : buku pelajaran, modul, program audio, transparansi (OHT). Jenis sumber belajar yang kedua adalah sumber belajar yang sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan ( learning resources by utilization), yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus dirancang untuk keperluan pembelajaran, namun dapat ditemukan, dipilih dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Contohnya: pejabat pemerintah, tenaga ahli, pemuka agama, olahragawan, kebun binatang, waduk, museum, film, sawah, terminal, surat kabar, siaran televisi, dan masih banyak lagi yang lain. Jadi, begitu banyaknya sumber belajar yang ada di seputar kita yang semua itu dapat kita manfaatkan untuk keperluan belajar. Sekali lagi, guru hanya merupakan salah satu dari sekian banyak sumber belajar yang ada.
Oleh karena setiap anak merupakan individu yang unik (berbeda satu sama lain), maka sedapat mungkin guru memberikan perlakuan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing siswa. Dengan begitu maka diharapkan kegiatan mengajar benar-benar membuahkan kegiatan belajar pada diri setiap siswa. Hal ini dapat dilakukan kalau guru berusaha menggunakan berbagai sumber belajar secara bervariasi dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk berinteraksi dengan sumber-sumber belajar yang ada di alam ini.
Hal yang perlu diperhatian adalah, agar bisa terjadi kegiatan belajar pada siswa, maka siswa harus secara aktif melakukan interaksi dengan berbagai sumber belajar. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar hanya mungkin terjadi jika ada interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar. Dan inilah yang seharusnya diusahakan oleh setiap pembelajar (instructor, guru) dalam kegiatan pembelajaran. Semua sumber belajar itu dapat kita temukan, kita pilih dan kita manfaatkan sebagai sumber belajar bagi siswa kita.
Wujud interaksi antara siswa dengan sumber belajar dapat bermacam-macam. Cara belajar dengan mendengarkan ceramah dari guru memang merupakan salah satu wujud interaksi tersebut. Namun belajar hanya dengan mendengarkan saja, patut diragukan efektifitasnya. Belajar hanya akan efektif jika siswa diberikan banyak kesempatan untuk melakukan sesuatu, melalui multi-metode dan multi-media. Melalui berbagai metode dan media pembelajaran, siswa akan dapat banyak berinteraksi secara aktif dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki siswa. Bila potensi muncul, maka akan melahirkan prestasi. Prestasi lahir dari perbuatan yang kita lakukan terus menerus dengan banyak berlatih. Barang kali perlu kita renungkan kembali ungkapan China : Saya mendengar saya lupa, Saya melihat saya ingat, Saya berbuat maka saya bisa.
4. Memiliki budaya sekolah yang kokoh dan tetap eksis ditengah merambahnya budaya global yang begitu cepat.
Dalam tulisan penulis di makalah Konferensi Guru Indonesia (KGI) pada bulan September 2007 yang diselenggarakan oleh Sampoerna Foundation Institut dan dihadiri oleh lebih dari 1500 orang guru dari seluruh Indonesia, penulis menuliskan bagaimana menciptakan budaya sekolah yang tetap eksis yang dapat dibaca dan dilihat di url: http://wijayalabs.wordpress.com. Dalam tulisan itu, penulis membeberkan panjang lebar tentang keunggulan Labschool yang terletak pada budaya sekolahnya yang tetap eksis dalam meningkatkan mutu pendidikan. Kuncinya perpaduan semua unsur di sekolah itu dari mulai peran guru, siswa, dan orang tua siswa menjadi three in one dalam merajut kebersamaan.
Bayangkan bila Anda memasuki sebuah sekolah, hal apa kira-kira yang akan Anda lihat dan dengar? Sulit atau mudahkah memasuki lingkungan sekolah tersebut. Bagaimana cara guru dan siswa menyapa Anda. Bagaimana dengan pengaturan ruang administrasi dan papan demo keterampilan siswa ditata dan ditampilkan, serta ruang kelas dibentuk. Bagaimana suasana belajar-mengajar berlangsung, dan yang tidak kalah pentingnya, bagaimana kondisi kamar kecil (toilet) sekolah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan budaya. Sebab, sekolah sedang berusaha memberikan impresi terhadap tamu dan pengunjung lainnya bahwa inilah kami, inilah budaya sekolah kami. Berpadunya tiga kekuatan, yaitu guru, siswa, dan orang tua siswa.
Jika budaya kita definisikan sebagai seperangkat norma, nilai, kepercayaan, dan tradisi yang berlangsung dari waktu ke waktu, budaya sekolah adalah satu set ekspektasi dan asumsi dari norma, nilai, dan tradisi yang secara diam-diam mengarahkan seluruh aktivitas personel sekolah (Peterson, 1998). Karena budaya sekolah bukan suatu entitas statis, maka proses pembentukan norma, nilai, dan tradisi sekolah akan terus berlangsung melalui interaksi dan refleksi terhadap kehidupan dan dunia secara umum (Finnan, 2000). Dalam bahasa Hollins (1996), sebagai agen perubahan, 'sekolah dibentuk oleh praktik dan nilai budaya serta merefleksikan norma-norma dari masyarakat saat mereka masih sedang dikembangkan'. Atau, seperti hidrogen yang merupakan elemen utama air, maka nilai-nilai dalam masyarakat juga merupakan bagian utama dari budaya sekolah. Nilai-nilai itu akan membentuk watak dan perilaku menjadi karakter seseorang yang mempengaruhinya selama bersekolah di tempat itu.
Sekolah yang favorit pasti memiliki sistem pengembangan budaya sekolah yang terintegrasi dan terimplementasi dalam proses pembelajaran. Sekolah unggul dapat dipastikan telah melakukan inovasi-inovasi kegiatan budaya sekolah dan terinventarisasikannya budaya sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai lokal, nasional, dan internasional. Semuanya itu telah menyatu ke dalam kegiatan akademik dan non akademik. Melalui kegiatan yang bersifat intrakurikuler dan ekstrakurikuler sekolah itu diharapkan tidak hanya memiliki Standar Sekolah Nasional (SSN) akan tetapi juga menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Budaya sekolah yang harus diciptakan agar tetap eksis menurut penulis adalah mengembangkan budaya keagamaan (religius), budaya kerjasama (team work), budaya kepemimpinan (leadership) dan budaya kedisiplinan (dicipline).
a Budaya keagamaan (religius) yaitu:
Menanamkan perilaku atau tatakrama yang tersistematis dalam pengamalan ajaran agamanya masing-masing sehingga terbentuk kepribadian dan sikap yang baik (Akhlaqul Karimah) dalam berbagai hal yang terjadi di masyarakat. Karena itu, nuansa religius di sekolah dengan pelaksanaan tadarus atau kebaktian sebelum pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah harus dijadikan aktivitas rutin. Membudayakan salam dan saling menegur dengan bahasa yang ramah dan penuh kasih sayang harus menjadi fenomena yang biasa. Sekolah harus mengembangkan budaya keagamaan, karena terbatasnya waktu belajar agama dengan menyisipkan ke dalam pelajaran yang bermuatan “IMTAK”.
Contoh Bentuk Kegiatan :
Budaya Salam (saling menegur dengan mengucapkan salam dan berjabat tangan), Doa bersama sebelum/sesudah belajar di kelas, Doa bersama (guru, siswa, dan orang tua) menyambut ujian nasional/ujian sekolah, Tadarus dan Kebaktian, Sholat berjamaah, LOKETA (Lomba Keterampilan Agama), Studi Amaliah Ramadhan (SALAM), RETRET (bagi yang beragama nasrani), Hafalan Juz Amma, Budaya Bersih yang merupakan cermin keimanan, Kegiatan Praktek Ibadah, Buka Puasa Bersama, Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Sodaqoh (ZIS), serta Peringatan Hari Besar Agama (PHBA).
b Budaya kerjasama (team work) yaitu:
Budaya kerjasama harus ditumbuhkan untuk menanamkan rasa kebersamaan dan rasa sosial melalui kegiatan yang dilakukan bersama. Pengelola sekolah harus membangun sebuah sistem yang di dalamnya mengutamakan kerjasama atau team work. Kesuksesan dibangun atas dasar kebersamaan dan bukan kerja satu orang kepala sekolah atau one man show.
Contoh Bentuk Kegiatan :
Masa Orientasi Siswa (MOS), Kunjungan Industri ke pabrik, Parents Day, Bakti Sosial, Teman Asuh, Sport And Art, Kunjungan Museum, Karnaval, Pentas Seni, Studi banding, Ekskul, Labs Channel, Labs TV, Labs Care, Majalah Sekolah, Potency Mapping, Buku Tahunan, Peringatan Hari Besar Nasional (PHBN), dan PORSENI.
c Budaya kepemimpinan (leadhership) yaitu:
Menanamkan jiwa kepemimpinan dan keteladanan dari sejak dini kepada siswa dengan memasukkannya dalam berbagai bentuk kegiatan. Siswa harus diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin dalam keorganisasian atau kepanitiaan kegiatan sekolah.
Contoh Bentuk Kegiatan :
Career Day; Study dan Apresiasi Kepemimpinan Siswa Indonesia (SAKSI), Lintas Juang OSIS, Ceramah Umum, Upacara Bendera, Lari pagi Jumat, Studi Kepemimpinan Siswa, Latihan Keterampilan Manajemen Siswa (LKMS), Majelis Perwakilan Kelas (MPK), dan terbentuknya kepengurusan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).
d. Budaya kedisiplinan (dicipline) yaitu:
Menanamkan kedisiplinan kepada siswa untuk selalu tepat waktu dan mentaati peraturan yang berlaku di sekolah sesuai dengan tata tertib yang telah disepakati bersama dan dikeluarkan oleh pihak sekolah dan diketahui oleh orang tua siswa.
Contoh Bentuk Kegiatan:
Tim Penegak Disiplin Sekolah (TPDS), budaya tepat waktu dalam belajar, pemakaian seragam sekolah, Pemberian hukuman atau sangsi bagi mereka yang melanggar tata tertib, dan upacara bendera (PBB).
Keempat hal penting budaya sekolah di atas harus terus dikembangkan oleh setiap sekolah agar tetap unggul. Hal ini akan dapat dibuktikan pada saat awal tahun ajaran baru dimana masih banyaknya orang tua siswa yang mendaftarkan anaknya untuk belajar ke sekolah itu sebagai sekolah favorit di masyarakat. Atau banyaknya kunjungan dari sekolah lainnya untuk belajar dan melakukan studi banding.
5. Memiliki seorang tokoh panutan di sekolah dan mampu menjadi contoh pemimpin sekolah masa depan.
Ketika penulis mengikuti lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional pada tahun 2005, pertanyaan yang lebih dulu ditanyakan oleh dewan juri pada saat itu adalah bagaimana kabar pak Arief di Labschool. Begitu pula untuk kedua kalinya mengikuti lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional di tahun 2006. Lagi-lagi yang ditanya oleh dewan juri adalah bagaimana kabar pak Arief di Labschool.
Nama Pak Arief Rachman seakan telah menyatu dengan Labschool. Seperti dua sisi mata uang logam. Bahkan Rektor UNJ sendiri Pak Bedjo mengatakan bahwa Pak Arief sangat identik dengan Labschool. Arief Rachman, yang lahir di Malang, Jawa Timur, 19 Juni 1942 adalah seorang guru yang pernah mengajar dan menjadi kepala sekolah di SMA Labschool, Rawamangun, Jakarta Timur. Selain itu ia juga pernah menjadi dosen luar biasa di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, dan sekarang beliau diangkat menjadi guru besar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) serta dosen pascasarjana UNJ. Saat ini beliau sudah tidak mengajar lagi (pensiun), namun masih aktif di dunia pendidikan dengan bergabung di sekolah Dipenogoro.
Beliau dapat dikatakan sebagai salah satu tokoh pendidikan Indonesia, dan sempat ditanya pendapatnya ketika Presiden Amerika Serikat George Walker Bush berkunjung ke Indonesia pada tanggal 20 November 2006. Saat ini ia juga masih menjabat duta UNESCO dari Indonesia dan menjabat sebagai Ketua Harian UNESCO yang berpusat di kota Paris, Perancis.
Prof. Dr. Arief Rachman sendiri lebih dikenal sebagai seorang Pakar Pendidikan. Walaupun sudah tua dan rambutnya juga sudah banyak yang memutih, ia tidak ragu-ragu melakukan ekspresi mimik selucu apapun untuk menghidupkan materinya. Sedangkan dari segi materinya sendiri, ia banyak menggunakan ilmu psikologi pendidikan. Lengkap dengan contoh-contohnya. Sangat ilmiah. Namun karena ia banyak menggunakan contoh-contoh yang membumi, seringkali unsur kerumitan ilmiahnya ini tetap bisa dimengerti oleh audience dari berbagai kalangan. Penulis banyak belajar dari beliau, apalagi bila diberi kesempatan oleh beliau untuk membuat slide presentasinya.
Prof. Dr. Arief Rachman selain memberikan keteladanan pada kami di Labschool, juga pernah mengatakan bahwa seorang guru itu harus memiliki 5 kompetensi, yaitu idealisme, akademis, profesionalisme, kepribadian, dan sosial. Kelima kompetensi inilah yang harus menyatu dan dimiliki oleh para guru dalam menjaga sekolah seperti Labschool agar tetap unggul.
Dalam film Laskar Pelangi, tokoh terkenal itu diperankan dengan baik oleh pak Harfan seorang kepala sekolah yang berwajah sabar dan berhati mulia. Dia selalu menekankan pada anak didiknya bahwa ”hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya”. Pak Harfan adalah tokoh yang dikenal oleh masyarakat karena kesederhanaannya. Sudahkah tokoh ini ada dalam sekolah-sekolah kita? Seorang guru yang ikhlas mengabdi untuk kemajuan negeri. Kalau jawabannya belum, maka kita sendirilah yang harus menjadi tokoh itu. Sebuah sekolah unggul pasti di dalamnya ada tokoh yang menjadi panutan, pemimpin dan idola para siswanya.
6. Memiliki motivasi yang tinggi untuk mampu bersaing dalam dunia global.
Motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Adapun menurut Mc.Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya "feeling" dan di dahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc.Donald ini mengandung tiga elemen pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan.
Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Motivasi ada dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik.
Motivasi intrinsik adalah jenis motivasi yang timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah jenis motivasi yang timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Peran guru adalah menyediakan, menunjukkan, membimbing dan memotivasi siswa agar mereka dapat berinteraksi dengan berbagai sumber belajar yang ada. Bukan hanya sumber belajar yang berupa orang, melainkan juga sumber-sumber belajar yang lain. Bukan hanya sumber belajar yang sengaja dirancang khusus, melainkan juga sumber belajar yang tinggal dimanfaatkan. Peran guru sudah beralih menjadi seorang motivator bagi para anak didiknya.
Guru di sekolah juga harus dapat memotivasi siswa agar memiliki daya juang yang tinggi, tanpa kehilangan jati diri suatu bangsa, dan tak mengenal kata ’putus asa’. Sekolah harus dapat melestarikan budaya lokal dengan tetap mengikuti trend budaya global yang berkembang di dunia internasional, misalnya bahasa daerah, alat musik gamelan atau angklung, dan tarian tradisional perlu dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa. Tetapi tidak dapat kita pungkiri pula bahwa penguasaan bahasa asing, band, dan modern dance harus juga perlu dipelajari sebagai budaya global yang disukai remaja saat ini.
Karena itu diperlukan suatu standarisasi belajar mengajar, kinerja guru, dan kesetaraan standar pengajaran dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui pembelajaran yang mengundang siswa untuk aktif. Sehingga mereka termotivasi dan mampu untuk bersaing di dunia internasional.
Di banyak negara, standarisasi menjadi jargon utama yang diusung guna meningkatkan mutu pendidikan dan persaingan dalam dunia global. Tuntutan akuntabilitas pendidikan melalui standardisasi kian menguat dengan adanya deklarasi global, seperti Millennium Developmental Goals (MDGs) dan Education for All, yang memiliki tujuan utama dalam menyediakan pendidikan bermutu dan akses pendidikan dasar bagi semua. Persaingan global membuat banyak negara termotivasi dan berusaha meningkatkan kinerja pendidikan sehingga mereka mampu memperkaya kualitas sumber daya manusiawi yang dianggap sebagai modal sosial dan budaya.
E. Penutup
Berdasarkan pengalaman Labschool yang sudah 40 tahun mengelola pendidikan, dan kisah nyata dari film Laskar Pelangi dapat dibuktikan bahwa keunggulan sebuah sekolah bukan terletak pada fasilitasnya, melainkan pada komunitas yang ada di sekolah itu. Jadi tidaklah benar kalau keunggulan suatu sekolah terletak pada fasilitas gedung yang serba lengkap, kecanggihan produk teknologi, dan dukungan dana yang melimpah.
Guru di Labschool telah membuktikan bahwa dengan fasilitas apa adanya juga mampu membuat sekolah tetap unggul di masyarakat. Mampu berpikir Global, dengan bertindak lokal (Think Global Act Local) dalam mengembangkan potensi siswa dan menjadikan sekolah tetap unggul di tingkat nasional maupun internasional. Semua itu dapat terlihat dari prestasi belajar yang dicapai siswa.
Kecanggihan teknologi memang membantu guru dalam membuat sekolah menjadi unggul. Tetapi, kecanggihan teknologi bukan menjadi jaminan sekolah itu unggul. Karena teknologi hanyalah alat bantu pengajaran. Teknologi yang sebenarnya adalah cara-cara atau metode baru yang digunakan guru dalam menyampaikan materi pembelajarannya sehingga sampai ke otak siswa.
Mari kita belajar dari Musibah kebakaran di Labschool Jakarta dan film Laskar Pelangi yang fenomenal ini. Akhirnya, di penghujung tulisan ini penulis menyimpulkan bahwa untuk menjaga agar sekolah tetap unggul diperlukan persatuan atau kebersamaan yang kokoh dari berbagai komponen yang ada di di dalam komunitas sekolah. Semua harus saling melengkapi dan bekerjasama dalam membangun sekolah ke arah yang lebih baik dari hari ini. Diperlukan suatu sistem yang utuh dan menyeluruh atau sistemik agar sekolah tetap unggul.
Sistem yang dibangun harus juga mencerminkan enam kekuatan yang telah diuraikan di atas yang harus dimiliki oleh sekolah. Enam kekuatan itu adalah (1) memiliki guru yang mempunyai kompetensi, komitmen, dan dedikasi yang tinggi terhadap kemajuan dunia pendidikan, (2) memiliki siswa yang berprestasi dan membanggakan sekolah, (3) mampu mengembangkan sumber belajar yang tidak hanya berpusat pada guru, (4) Memiliki budaya sekolah yang kokoh dan tetap eksis ditengah merambahnya budaya global yang begitu cepat, (5) Memiliki seorang tokoh panutan di sekolah dan mampu menjadi contoh pemimpin sekolah masa depan, (6) Memiliki motivasi yang tinggi untuk mampu bersaing dalam dunia global.
Penulis:
Wijaya Kusumah, S.Pd.
(Guru TIK SMP Labschool Jakarta).
Hp. 0815 915 55 15 Telp. 021 8482225
Blog di internet:
http://wijayalabs.blogspot.com
http://wijayalabs.wordpress.com
http://wijayalabs.multiply.com
Daftar Acuan:
Bell Gredler. Margaret E. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: Rajawali.
Hamzah, Uno, 2008. Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Hamzah, Uno. 2008. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara
Hirata, Andrea. 2006. Laskar Pelangi, Yogyakarta: Bentang
Hernowo. 2005. Mengubah Sekolah. Bandung: MLC
Johnson, LouAnne. 2008. Pengajaran yang Kreatif dan Menarik. Jakarta: PT. Indeks
Kusumah, Wijaya. 2007. Kenapa Guru Takut PTK?. Koran Republika.
[Rabu, 28 Mei 2008].
Kusumah, Wijaya. 2007. Menciptakan Budaya Sekolah yang Tetap Eksis. Jakarta: KGI 2007
Kusumah, Wijaya, dkk. 2008. Teknologi Informasi dan Komunikasi Untuk SMP Kelass VII. Jakarta: Rajagrafindo.
Maliki, Imam. 2006. Fun Teaching Kiat Sukses Belajar dan Mengajar yang Menyenangkan. Jakarta: Duha Khasanah.
Oemar Hamalik. 2002. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Petersen, Lindy, 2004. Bagaimana Memotivasi Anak Belajar?. Jakarta: Grasindo
Prayitno, Joko. Motivasi dalam Belajar. Koran Republika.
[Rabu, 18 Juni 2008].
Salma, Dewi Prawiradilaga. 2008. Prinsip Disain Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Sarwono, Sarlito W. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Susilana, Rudi. 2008. Media Pembelajaran. Bandung: FIP UPI
Widodo, Chomsin. 2008. Panduan Menyusun Bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Jakarta: Gramedia