Jumat, 13 November 2020

dua ustadz

DUA USTAD 

Dua ustad meninggal di kampung kami secara bersamaan. Meninggal pada hari yang sama, hanya berbeda dalam hitungan menit saja. 

Kedua ustad  tinggal di kampung yang sama, yakni sama-sama tinggal di kampung kami. Bedanya Ustad Joni tinggal di rumah kampung beratap seng berlantai semen, sedang ustad Amien tinggal di komplek perumahan beratap genteng berlantai marmer. Peristiwa meninggalnya dua ustad itu seperti dalam cerita saja.

Setiap hari Ustad Joni mengajar ngaji dan ceramah kepada umat sederhana dari kampung ke kampung tanpa lelah, tak peduli siang maupun malam. Bayarannya seadanya, kadang cukup ucapan terima kasih. 

Ustad Amien berceramah dari satu televisi ke televisi lain, tak peduli siang maupun malam dengan bayaran mahal tentunya.  Boleh dikata Joni ustad biasa yang sederhana, Amien ustad selebriti yang kaya raya. 

Hari ini Sang Khalik memanggil mereka berdua hampir bersamaan. Tak pelak, penduduk kampung dan penduduk komplek pun seolah-olah terbelah; mendahulukan melayat ustad Joni yang sederhana atau melayat ustad Amien yang kaya raya.

“Baiknya kita melayat yang mana dulu?” tanya seorang tetangga.
“Turuti saja kata hatimu,” kataku sekenanya.
“Melayat ustad Joni kau takkan bisa masuk televisi, melayat ustad Amien besar kemungkinan kau bisa masuk televisi. Sudah banyak wartawan televisi yang hadir!”
“Benar, melayat ustad Joni kau tak bisa bertemu menteri, melayat ustad Amien kau bisa bersalaman sama menteri.”
“Turuti saja kata hatimu,” kataku lagi.

Kami memang menuruti kata hati. Tanpa ada yang mengomando, kami orang-orang kampung berduyun-duyun menuju rumah ustad Joni yang sederhana. Ternyata rumah petak berukuran 4×6 itu sudah disesaki para murid-muridnya dari seisi kampung, bahkan dari kampung tetangga. Istri dan dua anaknya ikhlas melepas kepergiannya, tidak ada tangis berlebihan, apalagi sampai meraung-raung.

Akan tetapi yang menjadi isak tangis murid-murid dan para tetangganya adalah saat jenazah ustad Joni dimandikan. Hampir seluruh tubuhnya yang selama ini terbungkus jubah putih penuh dengan tatto bergambar koboy remaja tahun 70-an. Tato permanen yang sulit dihapuskan. 

Ya, ustad bertatto telah berpulang. Sama sekali tidak menunjukkan kegarangan saat ia berkhotbah, tidak pernah ia mengajak pertumpahan darah terhadap orang-orang yang tidak seiman meski bisa saja ia menyampaikan ayatnya. Tak pernah ia menghalalkan darah orang lain yang tak seiman. Isi ceramahnya terpilih dan biasa dipilih, disesuaikan dengan khalayaknya.

“Ya Allah, demikian salehnya ustad Joni, ustad yang berakhlak mulia… Ia benar-benar husnul khotimah, berakhir dengan baik,” orang-orang meratapi ustad yang selalu mewartakan kebaikan, berbicara pelan, dan tanpa pamrih dalam berdakwah ini.

Seorang pria setengah baya maju ke depan, berdoa sejenak dan meminta turut memandikan jenazah ustad Joni. Orang-orang mengenalnya sebagai Raja Tega, mantan narapidana yang mengaku berteman akrab dengan ustad Joni. 

“Dulu kami sama-sama langganan penjara, kami sama-sama ditakuti lawan maupun aparat,” ungkapnya, menyeringai menunjukkan geligi emasnya yang sudah tidak cemerlang lagi.

Semakin siang-semakin banyak orang yang melayat sehingga kampung dimana ustad Joni disemayamkan penuh sesak. Saat dibawa ke pemakaman, tidak ada kendaraan yang mampu mengantarkannya karena sukar bergerak di tengah lautan manusia. 

Jenazah ustad Joni ditandu saja sepanjang jalan yang terlewati menuju peristirahatan terakhirnya, diiringi ratap dan isak-tangis orang-orang. Mereka tidak menyangka, ustad Joni punya masa lalu yang kelam, tetapi berubah seratus delapan puluh derajat menjadi ustad yang soleh dan sederhana. 

Konon, dunia kriminal ditinggalkannya tidak lama seusai dia membunuh tanpa ampun seorang pengusaha Tionghoa karena disuruh oleh pengusaha saingan lainnya. Joni semasa mudanya dikenal sebagai pembunuh bayaran yang kejam. Kalau menghabisi targetnya, dia tidak mau menghambur-hamburkan peluru di pistolnya, tetapi cukup menggorok leher saja dengan pisau cukurnya. 

Saat ia melancarkan aksinya dengan mendatangi target di kediamannya pada suatu petang, tak disangka-sangka muncullah istri si penguasaha Tionghoa, berteriak histeris sambil menggendong anaknya yang masih berusia dua tahun. 

Joni tergetar seketika. Pisau cukurnya yang berlumuran darah jatuh tatkala melihat istri si pengusaha itu juga sedang hamil tua. Ibu-anak ini meraung-raung memeluk jenazah orang terkasihnya yang lehernya menganga tersayat pisau cukur. 

Joni menyelinap ke luar. Berlari mendatangi orang yang membayarnya untuk membunuh. Bukan untuk melaporkan pekerjaan yang telah tuntas dan menagih bayaran atas pekerjaannya itu. Joni datang dengan pistol berperedam suara. 

Tanpa ba-bi-bu, ia menarik pelatuk pistol yang ujungnya mengarah ke kening si pengusaha yang menyuruhnya membunuh pesaingnya. Lima butir peluru yang menembus kepala menghabisi riwayat hidup si pengusaha seketika. 

Setelah peristiwa itu Joni menghilang bagai ditelan bumi, polisi tak berhasil melecak keberadaannya.....

Pada saat yang bersamaan di kompleks dimana jasad ustad Amien terbujur di perumahan mewahnya, terjadi pertikaian sengit antara empat istri dan lima perempuan yang mengaku-ngaku sebagai istri sahnya mengenai di mana seharusnya ustad itu dimakamkan. 

Alih-meliput kematian, wartawan televisi yang semula hendak mengambil gambar rumah duka ustad Amien, malah mendapat suguhan peristiwa yang bisa mereka tawarkan untuk acara gosip dan hiburan.

Semakin siang suasana semakin kacau dan memanas karena anak-anak ustad Amien sudah mulai berebut harta peninggalan belum lagi si mayat dimakamkan. 

Sengitnya pertikaian bisa dilihat dari sudah saling usirnya keluarga besar itu di tengah mayat ayah mereka yang terbujur merana. Beberapa anaknya malah ada yang memamerkan pistol mahal, menggertak saudara-saudaranya bahwa ia bisa melakukan apa saja demi harta benda peninggalan ayahnya. 

Melihat kehebohan ini, sejumlah warga yang semula ingin melayat, memandikan dan mengkafani ustad Amien, satu persatu mundur secara teratur. Rumah besar itu sepi tanpa pelayat, kecuali si mayat.

Sedang aku, kuurungkan niat memasuki rumah ustad Amien untuk melayat. Kubuka ponsel dan kupijit sebuah nomor. 

“Dengan Yayasan Sirnaraga? Mohon segera datang ke Jalan Cempaka 21 secepatnya, ada keluarga kami yang meninggal!”

Aku balik badan untuk segera pergi. 

Masih banyak urusan.

PEPIH NUGRAHA 

***

Disclaimer: cerita rekaan ini telah saya tayangkan di medsos sekitar 5 tahun silam, seseorang menghubungi, meminta saya memberi pelatihan menulis untuk sebuah buku kolaborasi hanya karena teringat cerita "Dua Ustad" yang pernah dibacanya. Sedemikian kuatnya sebuah narasi bahkan ketika saya sudah lupa pernah menuliskannya. Saya cari filenya, ketemu dan saya muat ulang di sini.

Apakah anda sudah Mengajar dengan Hati?

Mengajar Dengan Hati Nurani

Selamat datang di blog Guru yang Mengajar dengan Hatinya. Saran dan komentar sangat kami harapkan demi perbaikan blog ini menjadi lebih baik lagi